Membangun Warga Negara (Citizen) Sejak di Sekolah
Sept 12, 2015 23:05:27 GMT 7
Post by Ivan on Sept 12, 2015 23:05:27 GMT 7
Saya kira saya tahu apa artinya membangun warga negara. Ternyata perkiraan saya salah setelah saya renungi lebih serius. Apa artinya menjadi Warga Negara Indonesia? Lalu, Bagaimana cara membentuknya? Apa yang bisa seorang guru lakukan?
Saya selalu merinding setiap kali mendengarkan pembacaan Pembukaan UUD 1945 saat upacara. Saya merinding karena dua hal: karena ia mengandung Kebenaran dan karena ia sepertinya sudah dilupakan.
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
…..
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Bagian-bagian yang biru itu yang buat saya merinding. Setiap kali merenungkan bagaimana membangun warga negara Indonesia, saya merujuk pada bagian-bagian itu.
Jadi, warga negara Indonesia itu orang macam apa?
Sejauh ini saya rumuskan:
1. Orang yang mengenal hak dan kewajiban asasi
2. Orang yang mengenal perikemanusiaan dan perikeadilan
3. Orang yang mengenali dan berani melawan bentuk-bentuk penjajahan.
4. Orang yang bisa membedakan yang umum dan bukan-umum
5. Orang yang cerdas dan mencerdaskan.
6. Orang yang berwawasan internasional dan mampu dan berani terlibat di dalamnya.
7. Orang yang takut Allah.
8. Orang yang nasionalis.
9. Orang demokratis.
10. Orang yang sosialis.
Sambil melihat rumusan di atas, saya menatap kondisi murid dan pendidikan yang sedang mereka jalani di sekolah. Saya pun merinding lagi karena saya tidak melihat rapor yang bagus.
Sekolah sibuk, sangat sibuk. Pejabatnya, manajemennya, gurunya dan siswanya. “Apakah semua kesibukan ini berujung pada terwujudnya poin-poin di atas?” tanya saya dalam hati. Kayaknya kok nggak ya….(Mungkin bisa kita jawab dengan “ya”, tetapi apa yang terwujud tidak terintegrasi. Apa yang tercapai adalah hal-hal yang bersifat lepas-lepas dan mudah hilang, tidak terintegasi dalam satu eksistensi kewarganegaraan yang jelas dan simpel.)
Apa yang menyebabkan pendidikan gagal mewujudkan warga negara Indonesia? Sejauh ini saya melihat:
1. Spirit pendidikan yang neo-liberal (sekolah=pabrik, murid=konsumen, ilmu=modal, skill=profesi, kesuksesan=kaya raya, dst dll)
2. Guru bersikap buruh
3. Tidak ada sistem pendidikan tandingan
4. Penguasa yang mandul
Saya pun bertekad dengan penuh amarah untuk mengajar dengan "palu dan linggis". Mengapa amarah? Karena dengan mata dan telingan sendiri, saya telah menyaksikan dan mendengarkan bagaimana efek semua kebusukan terhadap orang-orang dalam masyarakat. Mengapa "palu dan linggis"? Karena semua kebusukan itu membentuk fantasi yang dikira baik-baik saja, dan fantasi ini musti dibongkar.
Setiap bacaan, film, lagu, foto, diskusi, debat yang saya bawa ke kelas pun pasti mengandung pelajaran:
1. tentang worldview dan bagaimana ia bekerja dalam kehidupan setiap orang.
2. tentang cara kerja Iblis di dunia modern.
3. tentang virtual reality dalam kehidupan setiap orang
4. tentang kapitalisme akhir (neo-liberalisme) dan kritiknya
5. tentang berpikir secara geo-politis ketika melihat permasalahan bangsa
6. tentang menjadi Garam dan Terang Dunia
Terlalu berat? Ternyata tidak. Murid-murid justru senang. Dulu saya pun merasa senang ketika guru-guru saya melatih saya demikian. Saya senang karena semua itu benar dan berguna. Dengan kata lain, bermakna. Alhasil terciptalah satu iklim yang kondusif bagi pembelajaran.
Namun, iklim macam ini ternyata tidak bisa terjaga dalam lingkungan formal. Ada suatu spirit yang bekerja mematikan iklim ini. Spirit ini seperti serigala berbulu domba. Retorika yang ia pakai adalah formalitas, ketertiban, ketaatan, otoritas, bahkan keimanan. Spirit ini berwujud sistem. Bah, iblis memang lihai!
Saya selalu merinding setiap kali mendengarkan pembacaan Pembukaan UUD 1945 saat upacara. Saya merinding karena dua hal: karena ia mengandung Kebenaran dan karena ia sepertinya sudah dilupakan.
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
…..
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Bagian-bagian yang biru itu yang buat saya merinding. Setiap kali merenungkan bagaimana membangun warga negara Indonesia, saya merujuk pada bagian-bagian itu.
Jadi, warga negara Indonesia itu orang macam apa?
Sejauh ini saya rumuskan:
1. Orang yang mengenal hak dan kewajiban asasi
2. Orang yang mengenal perikemanusiaan dan perikeadilan
3. Orang yang mengenali dan berani melawan bentuk-bentuk penjajahan.
4. Orang yang bisa membedakan yang umum dan bukan-umum
5. Orang yang cerdas dan mencerdaskan.
6. Orang yang berwawasan internasional dan mampu dan berani terlibat di dalamnya.
7. Orang yang takut Allah.
8. Orang yang nasionalis.
9. Orang demokratis.
10. Orang yang sosialis.
Sambil melihat rumusan di atas, saya menatap kondisi murid dan pendidikan yang sedang mereka jalani di sekolah. Saya pun merinding lagi karena saya tidak melihat rapor yang bagus.
Sekolah sibuk, sangat sibuk. Pejabatnya, manajemennya, gurunya dan siswanya. “Apakah semua kesibukan ini berujung pada terwujudnya poin-poin di atas?” tanya saya dalam hati. Kayaknya kok nggak ya….(Mungkin bisa kita jawab dengan “ya”, tetapi apa yang terwujud tidak terintegrasi. Apa yang tercapai adalah hal-hal yang bersifat lepas-lepas dan mudah hilang, tidak terintegasi dalam satu eksistensi kewarganegaraan yang jelas dan simpel.)
Apa yang menyebabkan pendidikan gagal mewujudkan warga negara Indonesia? Sejauh ini saya melihat:
1. Spirit pendidikan yang neo-liberal (sekolah=pabrik, murid=konsumen, ilmu=modal, skill=profesi, kesuksesan=kaya raya, dst dll)
2. Guru bersikap buruh
3. Tidak ada sistem pendidikan tandingan
4. Penguasa yang mandul
Saya pun bertekad dengan penuh amarah untuk mengajar dengan "palu dan linggis". Mengapa amarah? Karena dengan mata dan telingan sendiri, saya telah menyaksikan dan mendengarkan bagaimana efek semua kebusukan terhadap orang-orang dalam masyarakat. Mengapa "palu dan linggis"? Karena semua kebusukan itu membentuk fantasi yang dikira baik-baik saja, dan fantasi ini musti dibongkar.
Setiap bacaan, film, lagu, foto, diskusi, debat yang saya bawa ke kelas pun pasti mengandung pelajaran:
1. tentang worldview dan bagaimana ia bekerja dalam kehidupan setiap orang.
2. tentang cara kerja Iblis di dunia modern.
3. tentang virtual reality dalam kehidupan setiap orang
4. tentang kapitalisme akhir (neo-liberalisme) dan kritiknya
5. tentang berpikir secara geo-politis ketika melihat permasalahan bangsa
6. tentang menjadi Garam dan Terang Dunia
Terlalu berat? Ternyata tidak. Murid-murid justru senang. Dulu saya pun merasa senang ketika guru-guru saya melatih saya demikian. Saya senang karena semua itu benar dan berguna. Dengan kata lain, bermakna. Alhasil terciptalah satu iklim yang kondusif bagi pembelajaran.
Namun, iklim macam ini ternyata tidak bisa terjaga dalam lingkungan formal. Ada suatu spirit yang bekerja mematikan iklim ini. Spirit ini seperti serigala berbulu domba. Retorika yang ia pakai adalah formalitas, ketertiban, ketaatan, otoritas, bahkan keimanan. Spirit ini berwujud sistem. Bah, iblis memang lihai!